Banyuwangi – COBRA BHAYANGKARA NEWS
Tak asing kita mendengar istilah belantik. Belantik merupakan nama sebuah profesi yang biasanya disandang bagi makelar hewan ternak seperti kambing, sapi. Namun kali ini penulis sedikit mengulas belantik di dalam demokrasi apakah ada?.
Baru – baru ini tanggal 14 Februari 2024 masyarakat Indonesia telah melaksanakan pesta demokrasi yaitu dengan pemilihan Presiden dan wakil Presiden, Calon Legislatif ( Caleg ) untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD ) Provinsi, Daerah, dan DPR RI. Menurut hemat dan hasil pengamatan penulis, tidak sedikit Caleg yang kecewa dengan hasil suara sementara yang ia peroleh.
Ada bebera faktor yang menyebabkan suara Caleg tersebut tidak sesuai dengan espektasinya, penulis menduga salah satu faktor tersebut kemungkinan adanya paham ” Belantik Demokrasi ” yang sengaja dilakukan oleh oknum masyarakat baik itu yang mengaku dan menyodorkan diri sebagai tim sukses maupun pemilih yang hanya mengambil souvenirnya saja saat kampanye maupun saat mendekati pencoblosan dilakukan.
Ada beberapa teori yang bisa digunakan sebagai refrensi pemecahan suara pemilih atau terjadinya split-ticket voting yaitu pertama, teori keseimbangan yang diperkenalkan oleh Morris P. Fiorina (lihat Fiorina 2003; 1992). Kedua, teori konflik harapan dari Gary Jacobson (lihat Jacobson, 1991). Ketiga, teori kepemilikan isu dari John Petrocick (lihat Zubida, 2006; Bloom, 2001). Keempat, teori check and balance. Dan kelima, teori pemasaran politik.
Semua teori di atas melihat pemecahan suara (split) adalah bagian dari strategi pemilih dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk moderasi atau keseimbangan ideologi (Fiorina), untuk memuaskan kebutuhan pemilih yang beragam (Jacobson), cara pemilihan yang berbeda (Petrocik), menciptakan kontrol di pemerintahan (check and balances) atau karena memenuhi ekspektasi pesan kampanye (pemasaran politik).
Caleg menjadi korban manisnya para ” Belantik Demokrasi ” dengan memberikan janji atau iming – iming suara yang banyak namun pada kenyataanya hasil berbanding terbalik. Jangan berharap kesetiaan dari ” Belantik Demokrasi “. Mereka tidak mempedulikan darimana partainya, hanya kepada uang terbanyaklah mereka menambatkan, menyandarkan hati dan kesetiaannya.
Jadi terlalu naif jika hanya para Caleg yang disalahkan saat jadi namun tidak tepat janji. Para ” Belantik Demokrasi ” juga menciderai marwah demokrasi itu sendiri. Para belantik memberikan pemahaman dan arahan yang tidak tepat kepada masyarakat yang benar – benar menghargai dan menginginkan demokrasi itu berjalan dengan baik dan benar.
Veri Kurniawan S.ST.,S.H ( FOSKAPDA ).
Pewarta//Erni