

Sulut, Minsel // COBRA BHAYANGKARA NEWS
Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Amurang, Swingly Liow, diduga melakukan pungutan liar (pungli) kepada orang tua siswa terkait kegiatan penamatan tahun ajaran 2025.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, setiap siswa dibebankan biaya sebesar Rp 130.000, dengan total pungutan mencapai Rp 52.030.000 dari 398 siswa.
Praktik ini diduga bertentangan dengan peraturan yang berlaku, yakni Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI No. 44 Tahun 2012 yang melarang satuan pendidikan negeri untuk melakukan pungutan kepada peserta didik.
Larangan serupa juga ditegaskan dalam Permendikbud No. 75 Tahun 2016 Pasal 12 huruf b, yang menyatakan komite sekolah tidak diperbolehkan melakukan pungutan dari siswa atau orang tua.
Inilah rincian anggaran kegiatan penamatan siswa tersebut adalah sebagai berikut:
Tenda (20 unit): Rp 7.000.000
Kursi (1.500 buah): Rp 3.500.000
Panggung, dekorasi, perlengkapan: Rp 8.500.000
Fotografer & cetak foto (398 siswa): Rp 16.080.000
Catering untuk undangan khusus: Rp 2.500.000
Gordon akrilik + tali (398 buah): Rp 9.950.000
Sound system, operator, pemain musik: Rp 2.000.000
Snack untuk undangan: Rp. 500.000
Transportasi & konsumsi panitia kerja: Rp 2.500.000
Total: Rp 52.030.000
Kebijakan ini menuai kritik tajam karena dinilai bertolak belakang dengan semangat pendidikan gratis yang digaungkan pemerintah sejak presiden Joko Widodo hingga kini presiden Prabowo Subianto.
Terlebih, SMAN 1 Amurang merupakan sekolah negeri yang menerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), yang berdasarkan banyaknya Siswa, diketahui siswa SMAN 1 Amurang berjumlah 1248 siswa, berarti dana bos sekolah SMAN 1 Amurang berjumlah miliaran rupiah.
Seharusnya kepala sekolah SMAN 1 Amurang Swingly Liow mampu menutupi kebutuhan operasional termasuk kegiatan penamatan.
Saat dikonfirmasi pada kamis (24/4/2025), Kepala Sekolah Swingly Liow membenarkan adanya pungutan tersebut.
Menurutnya, biaya itu sudah melalui kesepakatan bersama antara wali kelas dan orang tua murid.
“Hal ini telah dibahas dan disepakati oleh orang tua siswa bersama pihak sekolah,” ujar Liow.
Senada juga disampaikan oleh salah seorang guru kelas/wali kelas bahwa itu sudah sepakat dengan orang tua siswa.
Meski demikian, muncul pertanyaan dari masyarakat dan pemerhati pendidikan, mengapa pungutan tetap dilakukan meski aturan jelas melarang hal tersebut. Terlebih, dalih “kesepakatan bersama” kerap dijadikan alasan untuk membenarkan pungutan liar di lingkungan sekolah.
Peliput // Dm Komaling

