ENREKANG – SULAWESI SELATAN,-Cobra_Bhayangkaranews.co.id
Menyambut peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Enrekang ke-63 pada tanggal 19 Februari 2023, beberapa aktivis tidak hanya menyoroti kinerja kepemimpinan Bupati Enrekang, H. Muslimin Bando yang akan berakhir pada bulan Oktober 2023.
Rabu 15 Februari 2023.
Namun juga kinerja perwakilan rakyat yang dipimpin Ketua DPRD Enrekang, Idris Sadik, juga dinilai gagal jalankan fungsinya. Bahkan lembaga yang diduduki 30 orang wakil rakyat dari tiga daerah pemilihan di Enrekang itu, dinilai gagal mengantar pembangunan yang berkualitas di Enrekang.
Seperti yang diungkapkan Rahmawati Karim, salah satu aktivis anti korupsi yang selama ini banyak bersuara terkait ketimpangan kebijakan yang terjadi di Enrekang.
“Carut-marutnya pengelolaan Enrekang hari ini karena wakil rakyat tidak hadir menggunakan fungsi pengawasannya. Lemahnya fungsi kontrol yang berjalan hari ini. Yang berani bersuara tidak cukup 10 persen dari jumlah anggota dewan,” tegas Rahmawati Karim.
Dirinya menilai kepemipinan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Enrekang saat ini paling suram dibanding kepemimpinan sebelumnya. Kepemimpinan saat ini tidak ada perbedaan warna dengan penguasa di pemerintah daerah.
“Kalau saya bandingkan masa lalu dengan sekarang, justru saya katakan kepemimpinan sebelumnya bahkan sebelum pemilihan langsung kepala daerah, di ruang wakil rakyat itu ada suara. Ada warna yang berbeda. Boleh dikatakan cukuplah, ada yang berani angkat bicara setiap kebijakan yang dinilai tidak memihak ke rakyat. Tapi sekarang, lebih banyak diam dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Makanya layanan publik kita tidak berkualitas karena mereka yang digaji negara untuk melakukan fungsi kontrol telah alpa,” Rahmawati Karim membandingkan kondisi saat dirinya aktif menjalankan aktivitas sebagai wartawan mencari informasi di DPRD Enrekang.
Tapi saat ini lanjut dia lagi, penderitaan rakyat di kelopak mata yang ditimbulkan dari kebijakan kepala daerah, wakil rakyat tidak mampu mengambil sikap. Pada hal kewenangan besar wakil rakyat telah dijamin di sejumlah regulasi.
“Mereka hanya namanya wakil rakyat, tapi faktanya justru wakilnya penguasa. Buktinya tak ada suara saat rakyat dirampas ruang hidupnya. Dimatikan sumber eknominya oleh kebijakan, mereka hanya diam. Mereka justru bicara bertindak seolah-olah wakilnya pengusaha, wakilnya bupati yang telah mengeluarkan kebijakan yang berdampak penggusuran. Bukan menjalankan fungsi kontrolnya atas keresahan rakyat yang terancam kelaparan,” kesal Rahmawati Karim.
Aspirasi rakyat yang meminta agar DPRD Enrekang menggunakan fungsi pengawasan atas kebijakan rekomendasi pembaharuan Hak Guna Usaha (HGU) ke PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV pada tahun 2020, hingga setahun lebih, belum juga ditindaklanjuti.
“Kita minta wakil rakyat panggil bupati atas kebijakannya. Tapi justru, saya disuruh Ketua DPRD minta maaf secara tertulis ke lembaga DPRD atas pengambilalihan ruang sidang oleh rakyat saat itu. Yang seharusnya merekalah minta maaf ke rakyat atas ketidakmampuan menjalankan fungsi pengawasannya sebagai wakilnya rakyat,” terang Rahmawati Karim.
Parahnya lagi jelas mantan anggota KPU Enrekang ini, dalam dialog penerimaan aspirasi konflik agraria antara rakyat dan PTPN XIV ini, justru Ketua DPRD Enrekang, Idris Sadik tidak ada rasa kepeduliannya kepada rakyat yang sudah dirampas ruang hidupnya.
“Dari setiap pertemuan jika beliau Ketua DPRD ada, bahasanya jelas sekali. Anak kecil saja bisa membaca sikapnya yang justru bahasanya tidak ada empati ke korban penggusuran. Bahasanya kayak bahasa manajemen PTPN XIV dan bahasa dari pihak eksekutif. Makanya tidak heran kalau kondisi rakyat yang dirampas ruang hidupnya di Enrekang, sangat berat perjuangannya karena adanya satu warna eksekutif dan legislatif,” tutup Rahmawati Karim.
(Yap-Agung).